..hanya share pengalaman pribadi
Mungkin saya sangat telat
masuk pada dilema ini. Tapi sebenarnya cukup lama saya menyimak begitu banyak
pro kontra di dunia maya mengenai hal ini. Bahkan tidak sedikit yang
berkomentar pedas. Mungkin kesal kali…. Tapi satu dua peristiwa pada pengalaman
pribadi yang memaksa saya masuk pada persoalan ini. Walau
sebenarnya agak kuatir di complain banyak orang. Tapi di sisi mana pun saya
berpihak, complain pasti tetap datang.
Makanya lebih baik berbuat daripada diam…ok bro…
Kaum riders,…Saya sangat mencintai jalanan. Bagi saya jalanan
memiliki arti sama seperti kebebasan dan persahabatan. Namun pada tangga 9 April 2012 kesenangan saya
terganggu. Saya mengalami sial yang sangat keterlaluan di jalanan. Tiga
kecelakaan beruntun. Tidak begitu parah memang, tapi cukup membuat sy sangat
was-was. Sehari itu sy menghabiskan hari dengan rolling dari Kudus ke Jakarta
melewati jalur Pantura. Setelah week end
karena hari kejepit, jalur pantura menuju Jakarta cukup ramai hari itu. Cukup menyenangkan
sebenarnya karena kondisi jalan di jalur pantura waktu ini sangat baik.
Kerusakan yang ada hanya sekitar 5 %. Namun cuaca yang mendung sejak awal
perjalanan membuat sy sedikit kuatir.
Dan akhirnya memang sejak lepas melewati Tegal, hujan turun dengan deras. Bagi
riders yang terbiasa melewati daerah ini pasti tau jika hujan di jalur ini pasti disertai angin
kencang. Dan hari ini cuaca sangat buruk. Angin kencang dan jarak pandang yang
sangat pendek membuahkan tiga kecelakaan di daerah Indramayu untuk saya. Awalnya cium sayang dari belakang
oleh sesama rider, lalu tonjokan kaget truck masih dari belakang, dan terakhir
senggolan khilaf sebuah angkutan umum. Hehehe…nggak berefek banyak ke saya
karena memang sejak awal saya sangat ekstra hati-hati, namun cukup serius akibatnya ke tunggangan. Sy sangat bersyukur karena keberuntungan itu,
namun rentetan persoalan itu membuat saya berubah pandangan setelahnya.
Setelah sedikit marah-marah sama sopir truck, akhirnya sy
menerima permintaan maafnya. Saya nggak menuntut ganti rugi juga karena memang
dia benar-benar nggak sengaja. Dia bilang dengan mimik memelas,
“ Maaf mas, saya benar nggak liat motornya mas, soalnya hujan deras banget.”
Dengan sibuk di tengah hujan saya berargumentasi bahwa semua
lampu di motor sudah saya
nyalakan,termasuk kerlap kerlip lampu sign yang saya pasang flaser, dua lampu
pada box, rompi warna nge jreng juga sy pake, helm juga ada reflektornya, jalan
udah paling pinggir juga, dll.
“ Sumpah gak keliatan mas. Kok gak pake lampu yang biru-biru
itu ?!” balasnya..
Heeeh…sekejap saya tersentak ke suatu
pojok dilema dari situasi ini. Sopir
truck ini telah mendorong saya masuk pada dilema panjang itu. Memang sejauh ini
karena nggak melihat manfaatnya, saya nggak mau pasang strobo di motor saya.
Padahal banyak sahabat jalanan yang memakai dan menyarankannya. Malu nanti di
kira norak alasan saya. Namun kejadian
hari ini mengantar saya pada pemikiran lain yang menurut saya baik. Saya
membuat uji kecil. Setelah menyalakan
semua lampu motor sy minta ijin naik ke
truck itu untuk menguji alasannya. Memang betul, dari jarak 10 meter saja motor
saya bak kunang-kunang saja. Di kondisi
hujan sangat deras dan angin kencang, agak sulit lampu motor saya memberi warning yang cukup, apalagi di hari yang masih terang lampu agak kurang berkilau/gemerlap.
Bagaimana dengan rompi dan reflector helm…ah lupakan saja. Ini Pantura! Memang cara paling gampang ya jangan berkendara di kondisi seperti itu. Tapi haiyaaah.. di jalanan kita nggak se sederhana
itu…
Sejak kejadian itu sampai saya menulis hal ini, hampir
sebulan waktu berlalu. Cukup luang waktu sy untuk berpikir yang membawa saya
pada beberapa poin pemikiran.
1. Menyadari dan mengakui jalanan semakin hari
semakin rumit dan berbahaya
2. Melihat posisi share motor begitu kecil
jika berada pada jalan besar antar propinsi seperti itu, dengan “lawan”
kendaraan besar yang membawa resiko yang besar.
3. Dibalik segala aturan dan etika, strobo bukan
barang haram jika itu berguna bisa menolong dengan pemakaian yang semestinya
dan bijak.
Tiga hal ini akhirnya yang menjembatani pemikiran atas putusan
saya selanjutnya.
1. Mengerti bahwa strobo adalah penanda dan bukan kode
untuk mengintimidasi. Apalagi jadi alat untuk minta-minta jalan.
2. Strobo pasti akan sangat membantu pengendara
pada jalan dan kondisi tertentu.
3. Mencemooh penggunaan strobo akan menjadi kurang
bijak. Karena yang seharusnya kita
lakukan adalah kampanye penggunaan strobo dengan baik dan benar, bukan
melarangnya.
4. Mengapa strobo ? kan ada lampu model lain, ka
nada warna lain. Stobo adalah lampu signal
yang sangat di kenal dan spesifik di antara
pengendara berbagai kendaraan. Ini akan menjadi ‘’bahasa yang sama’’ sebagai penanda yang sangat baik.
5. Memang tidak menutup mata banyaknya riders yang
gagah-gagahan dengan strobo dan berkesan memalukan. Tapi memang butuh waktu bagi
mereka untuk mengerti dan dewasa, yuuuk kita bantu untuk meluruskannya.
6. Pemasangan strobo harus pada posisi yang tepat.
7. ini yang sangat penting : memilih jenis, model, warna, serta ukuran
yang cocok dengan kegunaan yang di inginkan yang tidak mengganggu pemakai jalan
lainnya dan tidak melanggar peraturan .
8. Strobo bisa tetap di pasang sebagai pelengkap
safety riding. Dipakai atau tidak, hanya jika kondisi di anggap emergency.
Nah, kaum rider… kali
ini jika anda suatu saat ketemu saya di jalan dan melihat dua strobo terpasang
di belakang motor saya, berarti anda sedang melihat seseorang yang sedang berjuang
mengamankan dan mempertahankan nyawanya…
Catatan :
Pasal 59 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009
Pasal 59 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009
(1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.
(2) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna: a. merah; b. biru; dan c. kuning.
(3) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.
(4) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.
(5) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:
a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan
c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.